Konflik akan selalu mewarnai semua pengalaman manusia. Ia dapat terjadi bahkan dalam diri seseorang, yang biasa disebut sebagai konflik intra-personal (intrapersonal conflict). Lebih-lebih konflik dapat terjadi di dalam (within) banyak orang atau satuan social, baik berupa konflik intra-personal dan intra-kelompok atau yang lebih besar berupa konflik intra-nasional. Konflik dapat pula dialami antara (between) dua tau lebih orang atau satuan social; yang demikian ini biasa disebut konflik antar pribadi (interpersonal conflict), antar kelompok (intergroup conflict) atau konflik antar bangsa (international conflict). Dari sini dapat kita pahami bahwa konflik tidak lain merupakan keadaan pertentangan antara dorongan-dorongan yang berlawanan, yang ada sekaligus bersama-sama dalam diri seseorang. Dalam bentuk lain, konflik dapat diartikan sebagai suatu benturan, atau ketidaksetujuan, suatu konfrontasi, pertentangan, pertengakaran, dan lain-lain, yang dapat terjadi secara perseorangan maupun kelompok.
Di lingkungan kita, konflik sering muncul dari beragam sumber, baik individu dan kelompok, pribadi dan lembaga. Studi kasus Coleman (dalam Campbell et al., 1983: 187) mengungkap bahwa konflik masyarakat berakar dari isu-isu yang terkait dengan ekonomi, kekuasaan (politik), otoritas, nilai-nilai cultural (keyakinan), atau sikap pertentangan terhadap orang atau kelompok. Menyadari akan besarnya dampak konflik terhadap manajemen pesantren, maka perlu dilakukan manajemen konflik sebaik mungkin dalam upaya memecahkan dan menanggulangi permasalahan yang muncul akibat konflik dan mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang dapat menimbulkan terjadinya konflik di pesantren.
Ada dugaan bahwa pengelolaan konflik tidak penting dilakukan di pesantren, mengingat secara demonstratif di lembaga pendidikan tersebut tidak nampak adanya konflik. Hal itu, karena semua hal yang terkait dengan pesantren tunduk kepada inisiatif dan kebijaksanaan kyainya. Untuk mencermati dugaan ini, patut dicatat bahwa di lingkungan pendidikan (apapun) sebenarnya akan ditemukan dua macam konflik, yakni: (a) konflik yang nyata (manifested conflict) dan (b) konflik tersembunyi (hidden or latent conflict). Atas dasar ini, di dunia pesantren salafiah kita ada kemungkinan terdapat konflik yang sebaiknya harus dihindari dan diatasi.
Kegiatan pengelolaan pesantren yang terus-menerus sepanjang tahun sudah tentu memiliki potensi konflik yang harus mendapatkan perhatian dari para pengasuhnya. Hal ini mengingat di dalam dan di luar pesantren terdapat berbagai kelompok komunitas pesantren, yang terdiri dari santri, Kyai, ustadz, wali santri, pengusaha, instansi terkait, dan sebagainya, yang melahirkan arus kepentingan berbeda yang mudah menimbulkan konflik. Dalam perjalanannya sejumlah pihak ini sering menemukan ketidaksesuaian antara harapan dan kebutuhannya, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya suatu pertentangan, yang kita kenal dengan konflik. Apabila konflik-konflik yang kecilpun dibiarkan maka hal itu dapat memperburuk pengelolaan program pesantren, khususnya proses belajar-mengajar di dalamnya. Tentu, pemimpin pesantren yang arif tidak akan pernah rela hal ini terjadi
Diambil Dari buku Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global
oleh : Prof. Dr. H. Moh. Khusnuridlo, MPd
Jumat, 21 Mei 2010
di
22.37
Diposting oleh
Akhmad Rifqi Azis
Archivado en: