Jumat, 21 Mei 2010

Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Pesantren Salafiah

Gambaran tentang kepemimpinan pendidikan pesantren di atas Ada dua pertanyaan untuk dijawab sebelum dikonseptualisasi tentang pemimpin dan kepemimpinan, yaitu: Siapakah seorang pemimpin itu? Dan Apa yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin (fungsi kepemimpinan)? Untuk menjawab dua pertanyaan penting ini, ada baiknya kita simak pandangan para pakar manajemen. Duke ( 1986: 10) melihat kepemimpinan sebagai fenomena gestalt, yakni lebih besar daripada keseluruhan bagian-bagiannya. Menurut Dubin (1968: 385) kepemimpinan terkait dengan penggunaan wewenang dan pembuatan keputusan. Sementara Fiedler (1967: 8) lebih melihat pemimpin sebagai individu dalam kelompok yang diberi tugas untuk mengarahkan dan mengkoordinasikan aktifitas-aktifitas kelompok yang terkait dengan tugas. Memperkuat pandangan ini, Stogdill (1950: 4) menjelaskan kepemimpinan sebagai proses mempengaruhi aktifitas kelompok dalam rangka penyusunan tujuan organisasi dan pelaksanaan sasaran. Akhirnya Pondy (1978: 94) mendeskripsikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk menjadikan suatu aktifitas bermakna, tidak untuk merubah prilaku namun memberi pemahaman kepada pihak lain tentang apa yang mereka lakukan. Dari sejumlah pandangan ahli nampak, bahwa terdapat banyak pendekatan untuk memahami kepemimpinan tergantung perspektif apa yang digunakan. Hal ini tercermin dalam beberapa kata atau ungkapan kunci yang ditonjolkan, misalnya, penggunaan wewenang (Dubin), tugas mengarahkan (Fiedler), mempengaruhi aktifitas (Stogdill), dan membuat aktifitas bermakna (Pondy). Dengan demikian, masing-masing mencerminkan corak pemimpin yang berbeda dalam latar dan kebiasaan berbeda. Secara pasti tidak ada pemimpin pesantren yang seragam, masing-masing memiliki style/gaya berbeda.
Benar kiranya jika dinyatakan bahwa kepemimpinan di pesantren itu juga identik dengan gejala gestalt, mengingat di balik yang nampak dari luat masih terdapat keunikan-keunikan lain yang tidak nampak. Misalnya, pesantren salafiah yang telah melaksanakan madrasah, maka pemimpinnya boleh untuk menjalankan kewenangan dan pembuatan keputusan secara formal sebagai kepala madrasah. Di sisi lain, pesantren salafiah yang tidak menyelenggarakan sekolah formal, tugas pemimpin mungkin cukup memberi pengarahan dan koordinasi (musyawarah) untuk melaksanakan program-program pesantren; urusan teknis diserahkan kepada staf yang telah ditunjuk (pengurus pondok, ustadz, atau satgas lain). Secara umum, karena latar pesantren itu kompleks maka format kepemimpinan pesantren sangat fleksibel; tergantung kepada kapasitas dan kapabilitas kyai atau pengasuhnya


Diambil Dari buku Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global
oleh : Prof. Dr. H. Khusnuridlo, MPd

RSS Digg Twitter StumbleUpon Delicious Technorati