Jumat, 21 Mei 2010

Sejarah Pesantren


Pondok pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang dilaksanakan dengan sistem asrama yang pada umumnya bersifat tradisional dan terdapat di pedesaan. Cara belajar di pondok pesantren dilakukan dengan pengajian . Di samping itu, dewasa ini terdapat pula cara pendidikan melalui sistem sekolah (madrasah) yang ada di dalamnya. Ciri lain dari pondok pesantren  adalah bahwa lembaga ini dipimpin oleh kiai, anak atau keluarga kiai, dan baru sedikit sekali pondok pesantren yang meluaskan kepemimpinannya dalam bentuk pemasukan unsur lain (Depag RI, 1983: 9).
Pesantren itu sendiri memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Tingkatan pesantren yang paling sederhana hanya mengajarkan cara membaca huruf Arab dan Al-Qur’an. Sementara, pesantren yang agak tinggi adalah pesantren yang mengajarkan berbagai kitab fiqh, ilmu akidah, dan kadang-kadang amalan sufi, di samping tata bahasa Arab (Nahwu Sharf). Secara umum, tradisi intelektual pesantren baik sekarang maupun waktu itu ditentukan tiga serangkai mata pelajaran yang terdiri dari fiqh menurut Madzhab Syafi’I, akidah menurut Madzhab Asy’ari, dan amalan-amalan sufi dari karya-karya Imam al-Ghazali (Martin van Bruinessen, 1999: 21).
Perkembangan selanjutnya, pondok pesantren tidak hanya memasukkan unsur-unsur dalam saja. Sekarang ini, pondok pesantren sedang dan telah mengalami transformasi dalam segala hal seperti munculnya pesantren-pesantren yang sudah terkemas rapi dengan peralatan-peralatan modern semisal laboratorium bahasa, teknologi komputer dan internet, dan lain sebagainya. Namun, tidak sedikit pula pesantren yang masih tetap mempertahankan keasliannya atau sistem tradisionalnya.
Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan, baik yang masih mempertahankan sistem pendidikan tradisionalnya maupun yang sudah mengalami perubahan, memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dari waktu ke waktu, pesantren semakin tumbuh dan berkembang kuantitas maupun kualitasnya. Tidak sedikit dari masyarakat yang masih menaruh perhatian besar terhadap pesantren sebagai pendidikan alternatif dalam menyekolahkan anaknya. Terlebih lagi dengan berbagai renovasi sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dengan mengadopsi corak pendidikan umum, menjadikan pesantren semakin kompetitif untuk menawarkan pendidikan ke khayalak masyarakat. Meski sudah melakukan berbagai renovasi pendidikan, sampai saat ini pendidikan pesantren tidak kehilangan karakteristiknya yang unik yang membedakan dirinya dengan model pendidikan umum yang diformulasikan dalam bentuk sekolahan. Ciri-ciri yang tetap melekat pada pendidikan pesantren itu antara lain adalah adanya kiai sebagai pucuk pemimpinnya, sebuah masjid, santri, asrama, dan kitab-kitab kuning (al-kutub al-muqarrarah) (Abdurrahman Wahid, tt.: 11; Martin van Bruinessen, 1999: 19).
Perkembangan pendidikan pesantren, dengan demikian, dapat dikatakan sebagai modal sosial dan bahkan soko guru bagi perkembangan pendidikan nasional di Indonesia. Karena, bagaimana pun pendidikan pesantren yang berkembang sampai saat ini dengan berbagai ragam modelnya senantiasa selaras dengan jiwa, semangat, dan kepribadian bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Maka dari itu, sudah sewajarnya apabila perkembangan dan pengembangan pendidikan pesantren akan memperkuat karakter sosial sistem pendidikan nasional yang turut membantu melahirkan sumberdaya manusia Indonesia yang memiliki kehandalan penguasaan pengetahuan dan kecakapan teknologi yang senantiasa dijiwai nilai-nilai luhur keagamaan. Pada akhirnya, sumberdaya manusia yang dilahirkan dari pendidikan pesantren ini secara ideal dan praksis dapat berperan dalam setiap proses perubahan sosial menuju terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat bangsa yang paripurna sebagaimana cita-cita pembangunan nasional.

Diambil Dari buku Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global
oleh : Prof. Dr. H. Khusnuridlo, MPd

RSS Digg Twitter StumbleUpon Delicious Technorati