Pondok pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan
Islam yang dilaksanakan dengan sistem asrama yang pada umumnya bersifat
tradisional dan terdapat di pedesaan. Cara belajar di pondok pesantren
dilakukan dengan pengajian . Di samping itu, dewasa ini terdapat pula
cara pendidikan melalui sistem sekolah (madrasah) yang ada di dalamnya. Ciri
lain dari pondok pesantren adalah bahwa
lembaga ini dipimpin oleh kiai, anak atau keluarga kiai, dan baru sedikit
sekali pondok pesantren yang meluaskan kepemimpinannya dalam bentuk pemasukan
unsur lain (Depag RI, 1983: 9).
Pesantren itu sendiri memiliki tingkatan yang
berbeda-beda. Tingkatan pesantren yang paling sederhana hanya mengajarkan cara
membaca huruf Arab dan Al-Qur’an. Sementara, pesantren yang agak tinggi adalah
pesantren yang mengajarkan berbagai kitab fiqh, ilmu akidah, dan kadang-kadang
amalan sufi, di samping tata bahasa Arab (Nahwu Sharf). Secara umum, tradisi intelektual
pesantren baik sekarang maupun waktu itu ditentukan tiga serangkai mata
pelajaran yang terdiri dari fiqh menurut Madzhab Syafi’I, akidah menurut
Madzhab Asy’ari, dan amalan-amalan sufi dari karya-karya Imam al-Ghazali
(Martin van Bruinessen, 1999: 21).
Perkembangan selanjutnya, pondok pesantren tidak
hanya memasukkan unsur-unsur dalam saja. Sekarang ini, pondok pesantren sedang
dan telah mengalami transformasi dalam segala hal seperti munculnya
pesantren-pesantren yang sudah terkemas rapi dengan peralatan-peralatan modern
semisal laboratorium bahasa, teknologi komputer dan internet, dan lain
sebagainya. Namun, tidak sedikit pula pesantren yang masih tetap mempertahankan
keasliannya atau sistem tradisionalnya.
Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan,
baik yang masih mempertahankan sistem pendidikan tradisionalnya maupun yang
sudah mengalami perubahan, memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Dari waktu ke waktu, pesantren semakin tumbuh dan berkembang
kuantitas maupun kualitasnya. Tidak sedikit dari masyarakat yang masih menaruh
perhatian besar terhadap pesantren sebagai pendidikan alternatif dalam
menyekolahkan anaknya. Terlebih lagi dengan berbagai renovasi sistem pendidikan
yang dikembangkan pesantren dengan mengadopsi corak pendidikan umum, menjadikan
pesantren semakin kompetitif untuk menawarkan pendidikan ke khayalak
masyarakat. Meski sudah melakukan berbagai renovasi pendidikan, sampai saat ini
pendidikan pesantren tidak kehilangan karakteristiknya yang unik yang membedakan
dirinya dengan model pendidikan umum yang diformulasikan dalam bentuk
sekolahan. Ciri-ciri yang tetap melekat pada pendidikan pesantren itu antara
lain adalah adanya kiai sebagai pucuk pemimpinnya, sebuah masjid, santri,
asrama, dan kitab-kitab kuning (al-kutub al-muqarrarah) (Abdurrahman
Wahid, tt.: 11; Martin van Bruinessen, 1999: 19).
Perkembangan pendidikan pesantren, dengan demikian,
dapat dikatakan sebagai modal sosial dan bahkan soko guru bagi
perkembangan pendidikan nasional di Indonesia. Karena, bagaimana pun pendidikan
pesantren yang berkembang sampai saat ini dengan berbagai ragam modelnya
senantiasa selaras dengan jiwa, semangat, dan kepribadian bangsa Indonesia yang
mayoritas beragama Islam. Maka dari itu, sudah sewajarnya apabila perkembangan
dan pengembangan pendidikan pesantren akan memperkuat karakter sosial sistem
pendidikan nasional yang turut membantu melahirkan sumberdaya manusia Indonesia
yang memiliki kehandalan penguasaan pengetahuan dan kecakapan teknologi yang
senantiasa dijiwai nilai-nilai luhur keagamaan. Pada akhirnya, sumberdaya
manusia yang dilahirkan dari pendidikan pesantren ini secara ideal dan praksis
dapat berperan dalam setiap proses perubahan sosial menuju terwujudnya tatanan
kehidupan masyarakat bangsa yang paripurna sebagaimana cita-cita pembangunan
nasional.Diambil Dari buku Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global
oleh : Prof. Dr. H. Khusnuridlo, MPd