Permasalahan seputar pengembangan model pendidikan pondok pesantren dalam hubungannya dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (human resources) merupakan isu aktual dalam arus perbincangan kepesantrenan kontemporer. Maraknya perbincangan mengenai isu tersebut tidak bisa dilepaskan dari realitas empirik keberadaan pesantren dewasa ini yang dinilai kurang mampu mengoptimalisasi potensi yang dimilikinya. Setidaknya terdapat dua potensi besar yang dimiliki pesantren yaitu potensi pendidikan dan pengembangan masyarakat (Saefudin Zuhri, dalam Marzuki Wahid dkk., 1999: 201).
Khusus dalam bidang pendidikan, misalnya, pesantren dapat dikatakan kalah bersaing dalam menawarkan suatu model pendidikan kompetitif yang mampu melahirkan out put (santri) yang memiliki kompetensi dalam penguasaan ilmu dan sekaligus skill sehingga dapat menjadi bekal untuk terjun ke dalam kehidupan sosial yang terus mengalami percepatan perubahan akibat modernisasi yang ditopang kecanggihan sains dan teknologi. Kegagalan pendidikan pesantren dalam melahirkan sumberdaya santri yang memiliki kecakapan dalam bidang ilmu-ilmu keislaman dan penguasaan teknologi secara sinergis berimplikasi terhadap kemacetan potensi pesantren kapasitasnya sebagai salah satu agents of social change dalam berpartisipasi mendukung proses transformasi sosial bangsa melalui pembangunan nasional.
Terkait dengan problema pendidikan pesantren dalam interaksinya dengan perubahan sosial akibat modernisasi atau pun globalisasi, kalangan internal pesantren sendiri sebenarnya sudah mulai melakukan pembenahan. Salah satu bentuknya adalah pengembangan model pendidikan formal (sekolah), mulai tingkat SD sampai perguruan tinggi, di lingkungan pesantren itu sendiri dengan menawarkan perpaduan kurikulum keagamaan dan umum serta perangkat ketrampilan teknologis yang dirancangbangun secara sistematik-integralistik. Tawaran berbagai model pendidikan mulai dari SD unggulan, Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK), SLTP dan SMU Plus yang dikembangkan pesantren pun cukup kompetitif dalam menarik minat masyarakat luas. Sebab, ada semacam jaminan keunggulan out put yang siap bersaing dalam berbagai sektor kehidupan sosial. Pengembangan model pendidikan formal semacam ini telah menjadi tren global yang diadopsi oleh kebanyakan pondok pesantren yang ada di tanah air, seperti Pesantren Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng, Jombang), Pesantren Darul Ulum (Peterongan, Jombang), Pesantren Darus Sholah (Jember), dan berbagai pesantren lainnya.
Ada pula sebagian pesantren yang memperbaharui sistem pendidikannya dengan menciptakan model pendidikan modern yang tidak lagi terpaku pada sistem pengajaran klasik (wetonan) dan materi kitab-kitab kuning. Tetapi, semua sistem pendidikan mulai dari teknik pengajaran, materi pelajaran, sarana dan prasarananya didesain berdasarkan system pendidikan modern. Modifikasi pendidikan pesantren semacam ini telah dieksperimentasikan oleh beberapa pondok pesantren seperti Pesantren Darus Salam (Gontor, Ponorogo), Pesantren As-Salam (Pabelan, Surakarta), Pesantren Darun Najah (Jakarta), dan Pesantren Al-Amin (Prenduan, Sumenep, Madura).
Sementara itu, tidak semua pesantren melakukan pengembangan sistem pendidikannya dengan cara memperluas cakupan wilayah garapannya dan/atau memperbaharui model pendidikannya. Masih banyak pesantren yang mempertahankan sitem pendidikan tradisional dan konvensional dengan membatasi diri pada pengajaran kitab-kitab klasik dan pembinaan moral keagamaan semata. Pesantren model pure klasik/salafi ini memang unggul dalam melahirkan santri yang memiliki kesalehan, kemandirian (dalam arti tidak terlalu tergantung kepada peluang kerja di pemerintahan) dan kecakapan dalam penguasaan ilmu-ilmu keislaman. Kelemahannya, out put pendidikan pure salaf kurang kompetitif dalam percaturan persaingan kehidupan modern. Padahal, tuntutan kehidupan global menghendaki kualitas sumberdaya manusia terdidik dan keahlian dalam bidangnya. Realitas out put pesantren yang memiliki sumberdaya manusia kurang kompetitif inilah yang kerap menjadikannya termarginalisasikan dan kalah bersaing dengan out put dari pendidikan formal baik agama maupun umum. Tepat apa yang dikemukakan K.H. Sahal Mahfudz (1994: 356):
“kalau pesantren ingin berhasil dalam melakukan pengembangan masyarakat yang salah satu dimensinya adalah pengembangan semua sumber daya, maka pesantren harus melengkapi dirinya dengan tenaga yang terampil mengelola sumber daya yang ada di lingkungannya, di samping syarat lain yang diperlukan untuk berhasilnya pengembangan masyarakat. Sudah barangtentu, pesantren harus tetap menjaga potensinya sebagai lembaga pendidikan.”
Keberadaan model pendidikan pesantren yang ketiga masih banyak terdapat di berbagai daerah di pelosok tanah air. Bukan berarti model pendidikan pesantren semacam ini tidak relevan lagi untuk konteks perkembangan sosial saat sekarang ini. Tetapi justru keberadaan pesantren pure salafi ini perlu untuk mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius dari berbagai pihak terutama pemerintah daerah. Karena bagaimana pun, pesantren merupakan khazanah budaya yang memainkan peran penting dalam setiap proses perubahan sosial melalui pembangunan. Tanpa peran partisipasi pesantren dapat dikatakan proses pembangunan daerah akan mengalami kegagalan.
Hasil survei mengenai profil pesantren di Jawa Timur tahun 1997 terungkap bahwa pesantren yang tersebar di Jawa Timur berjumlah sekitar 2.772 pesantren dengan jumlah santri 626.081 santri yang terdiri dari santri putra 347.938 orang dan santri putri 278.143 orang. Rata-rata setiap daerah memiliki pesantren dengan jumlah lebih dari 20 buah. Daerah yang tergolong memiliki pesantren cukup banyak antara lain adalah Malang sebanyak 295 pesantren dan Jember sebanyak 273 pesantren (PKSK dan Pemerintah Dati II Jawa Timur, 1997). Secara umum, model pendidikan yang ditawarkan pesantren bergerak secara dinamik sehingga dapat digali potensi praksisnya dalam kerangka peningkatan sumberdaya manusia untuk kepentingan transformasi sosial masyarakat daerah.
Diambil Dari buku Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global
oleh : Prof. Dr. H. Khusnuridlo, MPd
Jumat, 21 Mei 2010
di
22.04
Diposting oleh
Akhmad Rifqi Azis
Archivado en: