Peran penting pesantren dalam proses pelaksanaan pembangunan sosial di sektor pendidikan secara khusus tidaklah senantiasa berada pada titik konstan, tetapi juga mengalami pasang surut. Seperti contoh, ketika pesantren masih menjadi satu-satunya kiblat pendidikan, maka peran lembaga pendidikan dengan kiai sebagai figuran tokoh informalnya memiliki posisi dan peran yang sangat menentukan. Tetapi, ketika dunia pendidikan semakin dipenuhi oleh lembaga-lembaga pendidikan modern yang menawarkan keunggulan sistem pendidikan, kurikulum yang terprogram secara sistematis, SDM tenaga pengajar yang handal, dan pengelolaan yang profesional, semakin menggeser keberadaan pesantren. Peran pesantren juga semakin tereduksi dengan semakin tingginya tingkat campur tangan pemerintah dalam menggarap sektor pembangunan dalam berbagai aspeknya sebagaimana pengalaman peran pemerintahan pada era Orde Baru dengan sistem pemerintahan yang sentralistik dengan menekankan pemantapan stabilitas politik, pendekatan keamanan yang ketat, dan prioritas pada pembangunan pada sektor ekonomi (Afan Gaffar, 2000: 148). .
Sementara itu, munculnya percepatan kemajuan dalam bidang sains dan teknologi, perkembangan ekonomi-pasar bebas, dan munculnya berbagai institusi non-pemerintah (LSM) selain pesantren yang aktif menggarap persoalan-persoalan sosial-kemasyarakatan, maka keberadaan elemen-elemen tersebut menjelma menjadi kekuatan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan kehidupan sosial kontemporer. Keberadaan institusi informal yang cukup heterogen semacam ini telah menjadi pilar yang cukup fungsional bagi pemberdayaan masyarakat secara umum, dan proses transformasi sosial. Biasanya institusi informal tersebut memiliki kepedulian yang cukup besar untuk turut melakukan penguatan masyarakat sipil (civil society) terutama melalui pemberdayaan di bidang pendidikan.
Pesantren sebagai satu potret LSM terkenal mampu memainkan berbagai macam peranan dalam proses pembangunan. Menurut Noeleen Heyzer, sebagaimana dikutip Afan Gaffar, 2001: 203), terdapat tiga jenis peranan yang dapat dimainkan oleh berbagai LSM secara umum, termasuk dalam hal ini adalah pesantren, yaitu:
1) mendukung dan memberdayakan masyarakat pada tingkat “grassroots” yang sangat esensial dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan;
2) meningkatkan pengaruh politik secara meluas, melalui jaringan kerja sama, baik dalam suatu negara maupun dengan lembaga-lembaga internasional lainnya;
3) ikut mengambil bagian dalam menentukan arah dan agenda pembangunan.
Pada era otonomi daerah sekarang ini, keberadaan pesantren kembali menemukan momentum relevansifnya yang cukup besar untuk dapat memainkan kiprahnya sebagai elemen penting dalam proses pembangunan sosial. Terlebih lagi, otonomi mengandalkan kemandirian tiap-tiap daerah untuk dapat mengatur rumah tangga daerahnya sendiri berdasarkan kemampuan swadaya daerah tersebut tanpa adanya campur tangan pemerintah yang cukup besar. Keberadaan pesantren menjadi partner yang ideal bagi institusi pemerintahan untuk bersama-sama meningkatkan mutu pendidikan yang ada di daerah sebagai basis bagi pelaksanaan transformasi sosial melalui penyediaan sumberdaya manusia yang qualified dan berakhlakul karimah. Terlebih lagi, proses transformasi sosial di era otonomi mensyaratkan daerah untuk lebih peka menggali potensi lokal dan kebutuhan masyarakatnya sehingga kemampuan yang ada dalam masyarakat dapat dioptimalkan (Ginandjar Kartasasmita, 1996: 345). Maka dari itu segenap elemen kemasyarakatan secara struktural memiliki fungsi organis untuk sama-sama menjadi roda penggerak pembangunan daerah menuju terciptanya sebuah transformasi sosial.
Untuk dapat memainkan peran edukatifnya dalam penyediaan sumberdaya manusia yang berkualitas mensyaratkan pesantren untuk terus meningkatkan mutu dan sekaligus memperbaharui model pendidikannya. Sebab, model pendidikan pesantren yang mendasarkan diri pada sistem konvensional atau klasikal tidak akan banyak cukup membantu dalam penyediaan sumberdaya manusia yang memiliki kompetensi integratif baik dalam penguasaan pengetahuan agama, pengetahuan umum, dan kecakapan teknologis. Padahal, ketiga elemen ini merupakan prasyarat yang tidak bisa diabaikan untuk konteks perubahan sosial akibat modernisasi. Seperti sekilas diungkap dalam latar belakang masalah, tampaknya tipe ideal model pendidikan pondok pesantren yang dapat dikembangkan saat sekarang ini adalah tipe integrasi antara sistem pendidikan klasik dan sistem pendidikan modern. Pengembangan tipe ideal ini tidak akan merubah total wajah dan keunikan dari sistem pendidikan pesantren menjadi sebuah model pendidikan umum yang cenderung reduksionistik terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam sistem pendidikan pondok pesantren.
Jumat, 21 Mei 2010
di
22.02
Diposting oleh
Akhmad Rifqi Azis
Archivado en: