Secara sederhana, Deal (1985: 605) mendefinisikan kultur sekolah sebagai satuan pendidikan dengan ‘cara kita berbuat di sini.’ Jika ditransformasi ke pesantren, maka definisi ini dapat kita kemukakan menjadi ‘cara kita berprilaku di dalam atau sekitar pesantren.’ Kita hanya akan berbuat berdasarkan nilai dan keyakinan tertentu yang telah disekpakati di dalamnya. Indikator budaya pesantren dapat bersifat kasat mata (tangible) dan tidak kasat mata (intangible). Oleh karenanya, kultur pesantren harus dipahami secara komprehensif. Hal ini, berarti bahwa melihat sebagian unsur pesantren tidak dapat kita jadikan generalisasi terhadap pesantren secara keseluruhan. Misalnya, penampilan bangunan fisik pesantren yang sederhana tidak berarti menunjukkan kekerdilan berpikir guru atau santrinya. Banyak santri dengan prestasi yang tinggi dalam pentas nasional datang dari lembaga pesantren yang terlihat kumuh, sederhana dan miskin. Belum lagi kita lihat, bagaimana besarnya kontribusi pesantren tersebut dalam membangun lingkungan sekitar, khususnya lingkungan sosial. Dalam hal ini, sering pesantren berperan sebagai katalisator dan motor penggerak pembangunan.
Mengacu kepada makana kultur pesantren di atas, merupakan pemikiran yang picik jika kita melihat kultur sebuah pesantren hanya berdasarkan yang nampak oleh mata kepala kita. Di balik itu masih terdapat khazanah yang dapat diungkap/dikaji, termasuk ragam spiritualitas yang ada. Wujud budaya yang nampak misalnya pilihan kata yang digunakan, tradisi dan ritual yang kita ikuti, gedung, fasilitas, dan artifak lain yang menjadi bagian dari institusi pesantren. Diantara ciri khas budaya pesantren terletak penampilan kyai, guru dan santrinya dengan busana dan atribut-atribut Islami.
Secara mendasar, definisi kultur pendidikan pesantren dapat dikaitkan dengan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut:
a. Apa yang menjadi maksud utama pendidikan di pesantren ini?
b. Apakah peranan lembaga pesantren ini dalam mencapai maksud tersebut?
c. Pengetahuan, keterampilan dan sikap apa saja yang digarap oleh program pendidikan pesantren?
d. Bagaimanakah hubungan antara pesantren dan masyarakat, antara pesantren dan pemerintah?
e. Sejauhmana pesantren memenuhi kebutuhan belajar santri?
f. Bagaimana cara santri belajar?
g. Prilaku dan hubungan apa saja yang diperlukan oleh anggota warga pesantren?
Jawaban atas sejumlah pertanyaan di atas akan menjadi kerangka kultural sebuah lembaga pesantren, yang pada gilirannya akan melahirkan budaya pesantren yang khas. Misalnya, sebuah pesantren yang bermaksud mendidik santrinya menjadi lulusan yang mandiri dalam masyarakat biasanya menonjolkan wirausaha, seperti Pondok Pesantren Salafiah Sidogiri Pasuruan Jawa Timur. Pondok pesantren salafiah ini konon memiliki Koperasi Pondok Pesantren terbaik secara nasional. Tentu prestasi ini memberi dampak kultural kepada guru dan santrinya, seperti memiliki etos kerja tinggi, percaya diri, jujur dalam berusaha, berani menaggung resiko, dan sebagainya. Pada saat bersamaan, mereka juga menguasai bidang ilmu agama yang diajarkan di dalamnya.
Nilai, filosofi dan ideologi pesantren dapat diwujudkan dengan banyak cara, termasuk lisan, perbuatan dan material. Secara lisan, kultur pesantren dapat dilihat pada kemampuan warga pesantren dalam menyatakan tujuan dan sasaran lembaga pesantren, kurikulum, bahasa yang digunakan setiap hari, metafor, sejarah organisasi, tokoh organisasi dan struktur organisasi. Dalam bentuk perilaku, ketiga aspek tersebut diwujudkan dalam ritual, upacara, pendekatn terhadap belajar mengajar (wetonan, bandongan, sorogan, dsb), prosedur, aturan dan perunangan pelaksanaan, penghargaan dan sangsi, dukungan sosial dan psikologis, serta pola-pola interaksi dengan masyarakat dan orang tua santri. Dalam hal material, ketiga aspek tersebut diwujudkan dalam fasilitas dan perlengkapan, karya seni (kaligrafi), motto dan uniform. Kultur pesantren yang kuat ditunjukkan oleh ketaatan keseluruhan warga pesantren melaksanakan semua cara yang telah disepakati.
Berdasar kerangka analisis di atas, dapat ditegaskan bahwa pesantren salafiah setidaknya harus memelihara dan mengembangkan nilai kultur inti pesantren, yang meliputi: (a) kemandirian, (b) pemberdayaan, (c) kepercayaan, (d) sinergi, dan (e) tanggungjawab. Hal ini untuk memperkokoh citra pesantren yang telah berjasa besar bagi pendirian Negara Republik Indonesia. Jelas, hal ini menjadi tantangan bagi pengasuh pesantren untuk mengembangkannya di pesantren yang mereka pimpin.
Diambil Dari buku Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global
oleh : Prof. Dr. H. Khusnuridlo, MPd
Jumat, 21 Mei 2010
di
22.22
Diposting oleh
Akhmad Rifqi Azis
Archivado en: