Di tengah persaingan mutu pendidikan secara nasional, maka menjadi kebutuhan mendesak bahwa penyelenggaraan pendidikan pesantren harus didukung oleh tersedianya guru secara memadai baik secara kualitatif (profesional) dan kuantitatif (proporsional). Hal ini, ditunjukkan oleh penguasaan para guru di pesantren tidak saja terhadap isi bahan pelajaran yang diajarkan tetapi juga teknik-teknik mengajar baru yang lebih baik.
Menyadari akan pentingnya penguasaan terhadap dua hal di atas, diharapkan kepada para pengasuh/pemimpin pesantren untuk mengupayakan peningkatan kualitas para gurunya dengan pendekatan dan cara-cara yang cocok di pesantren. Ada beberapa pendekatan peningkatan mutu guru pesantren yang mungkin sesuai untuk dikembangkan di pesantern demi memenuhi kebutuhan tersebut. Di antaranya melalui restrukturisasi guru, peningkatan pengetahuan dan keterampilan mengajar guru, serta menajemen pelatihan guru melalui teknik-teknik team teaching, mentoring dan coaching.
Yang dimaksud dengan restrukturisasi guru pesantren adalah pendayagunaan guru sesuai keperluan lembaga agar mampu bertanggungjawab melaksanakan visi, misi dan tujuan pesantren yang telah ditetapkan secara efektif. Dalam sistem persekolahan moderen, fungsi ini dilakukan oleh pemimpin lembaga secara ketat dengan melakukan spesialisasi tugas kepada guru dan staf lain. Sebaliknya, di dunia pesantren fungsi tersebut dapat dilakukan secara fleksibel, di mana untuk meningkatkan fungsi layanan pendidikan pesantren, pengasuh pesantren tidak harus membuat spesialisasi ketat dalam pemberian tugas kepada guru atau staf lain.
Pendekatan restrukturisasi guru pesantren secara longgar merupakan konsekuensi logis dari pola manajemen pesantren yang sederhana, tradisional. Biasanya tampilnya seoran guru di pesantren lebih didorong oleh pengabdian seorang guru untuk mengamalkan ilmu yang telah dimiliki. Namun, adapula rekruitmen guru didasarkan atas kebutuhan lembaga sebagaimana banyak dilakukan oleh pesantren yang menyelenggarakan system sekolah dan madrasah di samping diniyah. Baik kelompok pertama dan kedua masih sulit untuk dituntut kerja secara profesional, mengingat kedua kelompk guru ini tidak menuntut gaji yang maksimal, bahkan banyak diantara mereka tidak meminta gaji sepeserpun. Keadaan demikian sering menimbulkan dilemma untuk meningkatkan profesionalisme guru pesantren. Akhirnya kinerja mereka sering terkesan tidak optimal.
Dengan mengaktualisasikan nilai-nilai pesantren yang ada, restrukturisasi guru dapat diwujudkan dengan memberi kesempatan kepada guru untuk terlibat dalam penyusunan dan pelaksanaan program-program pendidikan dan pengajaran di dalamnya. Dengan melibatkan mereka, pengasuh pesantren akan lebih mudah mendapat masukan untuk membuat kebijakan pendidikan dan pengajaran. Tentu pelibatan guru dalam kegiatan tersebut didasarkan kepada konpetensi yang dibutuhkan; tugas pokok guru pesantren adalah mengajar dan melaksanakan kurikulum sesuai dengan prioritas, rencana dan sumber-sumber yang tersedia.
Mengingat ada dua kelompok aktifitas guru pesantren, yakni rutin dan nonrutin/insidental, maka dalam restrukturisasi tersebut pengasuh pesantren perlu membuat uraian tugas yang jelas untuk dilaksanakan oleh para guru. Kegiatan rutin biasanya terkait dengan pendidikan dan pengajaran, sedang kegiatan nonrutin terkait dengan kegiatan-kegiatan ritual dan sosial keagamaan baik di dalam dan di luar pesantren. Kedua jenis kegiatan harus dianggap sebagai bagian integral pesantren. Oleh karena itu, jika terdapat benturan antara keduanya, maka pengasuh pesantren hendaknya sesegera dan sebaik mungkin mengendalikan agar tidak berimbas kepada proses pendidikan dan pengajaran di pesantren.
Sering ditemukan dalam kehidupan pesantren tindakan guru yang dinilai menyimpang dari visi, misi atau aturan yang telah dibuat sebagai akibat dari lemahnya koordinasi di kalangan mereka. Akibatnya banyak kebijakan pesantren dan arahan pengasuh tidak tersosialisasi dan terkomunikasikan dengan baik kepada mereka. Dengan demikian, prilaku menyimpang para guru sebenarnya sering di luar kesadaran mereka sebagai akibat keterbatasan informasi yang mereka terima sehingga terjadi salah paham.
Bersandar kepada pemikiran di atas, restrukturisasi guru pesantren dapat dilakukan oleh pengasuh melalui cara-cara yang praktis. Misalnya, ketika memberikan pengajian kitab, seorang kyai ada baiknya mengalokasikan waktu sejenak untuk menyampaikan informasi yang aktual kepada guru atau santri; tentu jika informasi tersebut bersifat umum. Untuk informasi yang penting dapat disampaikan dalam rapat khusus.
Secara umum, restrukturisasi guru pesantren mengadung implikasi-implikas sebagai berikut:
a. Tujuan restrukturisasi adalah perubahan jangka panjang yang menuntut keuletan dan ketekunan pemimpin pesantren dalam rangka menciptakan lingkungan belajar-mengajar yang aman dan tenteram
b. Guru sebagai staf pesantren membutuhkan keterampilan, kewenangan dan waktu untuk menciptakan peranan baru dan lingkungan yang tepat bagi mereka
c. Restrukturisasi lembaga pesantren mensyaratkan adanya dukungan terpadu dan akuntabilitas
Jumat, 21 Mei 2010
di
22.09
Diposting oleh
Akhmad Rifqi Azis
Archivado en: